Perjalanan ke Dalam Hati

Perjalanan ke Dalam Hati
by Arvan Pradiansyah

Ada seorang bijak yang bermimpi tentang Tuhan. Dalam mimpinya Tuhan dikisahkan ingin bersembunyi dari umat manusia yang tak henti-hentinya memohon bantuan-Nya. Ia pun mengumpulkan para malaikat untuk minta saran. Ada yang mengusulkan agar Tuhan bersembunyi di Puncak Himalaya. Ada yang menyarankan-Nya bersembunyi di dasar Samudera Atlantik. Ada juga yang menyarankan di bulan atau langit yang tinggi. Namun Tuhan belum puas, karena bukan mustahil manusia masih bisa menemukan-Nya di tempat-tempat tersebut. Iapun memanggil si orang bijak. Orang ini berkata, “Ada satu tempat yang sangat jarang dikunjungi manusia. Tempat ini bernama hati.” Konon sejak itulah Tuhan senantiasa bersemayam di hati sanubari manusia.

Berbagai masalah yang kita hadapi sebenarnya berakar dari tiadanya hati yang bersih. Hati yang dimaksud bukanlah dalam bentuk fisik berupa sepotong daging dalam tubuh kita tetapi sesuatu yang amat halus, lembut, tidak kasat mata, dan bersifat spiritual. Hati adalah tempat bertanya. Hati adalah cermin. Apa yang kita lakukan terus menerus akan berpengaruh dan berbekas pada hati. Hal-hal terpuji akan membuat hati mengkilap dan cemerlang. Sementara hal-hal tercela akan membentuk asap hitam kelam yang menumpuk sedikit demi sedikit dan membuat hati menjadi gelap gulita.

Hati yang gelap lama-lama akan menebal dan terkunci. Ini menghalangi kita melihat kebenaran. Karena itu kita perlu membersihkan hati kita dari benih-benih penyakit hati. Ada 3 penyakit yang paling sering menghinggapi hati kita. Ini juga adalah 3 dosa paling awal sejak keberadaan manusia.

Pertama, adalah sombong, dan arogan. Ini adalah penyakit Iblis yang menolak ketika diperintahkan bersujud pada Adam. “Ia diciptakan dari tanah, sedangkan aku dari api,” ujar Iblis. Ini sikap rasialis seperti Hitler maupun rezim Apharteid Afrika Selatan. Tanpa sadar kitapun sering merasa lebih mulia dari orang lain semata-mata karena faktor SARA. Penyakit sombong sering muncul dalam bentuk merasa lebih penting, lebih tahu, lebih benar, dan lebih taat, dari orang lain. Perasaan paling tahu dan paling benar membuat kita menutup telinga. Kita tak merasa perlu mendengarkan orang lain, kita justru sibuk memaksakan “agenda” kita pada orang lain.

Akar dari sombong adalah kebiasaan membanding-bandingkan diri kita (comparing) dengan orang lain. Membanding-bandingkan akan membuat kita terombang-ambing. Kita merasa super kalau berhadapan dengan orang yang ada di bawah kita, tapi ironisnya kita akan merasa rendah diri di saat yang sebaliknya. Padahal satu-satunya perbandingan yang baik adalah membandingkan diri Anda terhadap potensi Anda sendiri.

Kedua, adalah serakah. Ini penyakit Adam yang tetap memakan pohon yang dilarang Tuhan. Padahal ada berjuta-juta pohon yang disediakan dan hanya satu pohon itu yang dilarang.

Akar serakah adalah scarcity mentality (mentalitas kelangkaan) yaitu perasaan bahwa segala sesuatu sangatlah terbatas, karena itu saya akan mengambil bagian saya dulu sebelum kehabisan. Orang serakah menganggap dunia seperti sepotong kue, “Kalau Anda mendapatkan potongan besar, sisanya tinggal sedikit untuk saya.” Karena itu saya akan mengambilnya dulu. Semua persoalan yang kita hadapi di negara ini : KKN korupsi, upah minimum yang tak cukup untuk hidup layak, ataupun persoalan tarik ulur otonomi daerah, sebenarnya berakar dari keserakahan, yaitu keinginan menguasai dan tiadanya keinginan untuk berbagi dengan pihak lain.

Ketiga, adalah penyakit iri dan dengki. Ini penyakitnya Qabil yang merasa iri terhadap Habil yang mendapatkan istri lebih cantik. Akar penyakit ini adalah kecenderungan kita untuk selalu bersaing (competing) dengan orang lain. Kita memandang dunia sebagai medan pertempuran. Kita memandang setiap orang sebagai pesaing kita. Karena itu kita berjuang mengalahkan mereka. Kita ingin lebih pandai, lebih hebat, dan lebih populer. Kita berduka melihat orang lain sukses. Kita sedih melihat kawan naik pangkat, kita pusing melihat tetangga membeli mobil baru. Orang yang bermental seperti ini tak perduli dengan prestasinya sendiri, yang penting ia lebih tinggi dari orang lain.

Bangsa kita dipenuhi manusia-manusia yang mengidap penyakit ini. Saya biasa menyingkatnya dengan AIDS (Arogan, Iri, Dengki, Serakah). Itu sebabnya masalah kita tak kunjung usai. Tapi daripada melihat orang lain, marilah kita lihat diri kita sendiri, karena bukan mustahil kitapun “terinfeksi” penyakit AIDS ini. Jangan lupa, kepemimpinan selalu dimulai dari diri sendiri. Karena itu mulailah melakukan perjalanan ke dalam yaitu menyelami hati kita masing-masing dan mendeteksi adanya benih-benih AIDS ini dalam hati kita. Awalnya pasti sulit. Saya teringat kata-kata mantan Sekjen PBB, Dag Hammersjold, yang banyak melakukan perjalanan antar negara dan antar benua, “Perjalanan yang paling panjang dan paling melelahkan adalah perjalanan masuk ke dalam diri kita sendiri.”

0 komentar:

Posting Komentar